Belakangan ini saya sering berdiskusi dengan para praktisi bisnis musik di Asia Pacific membicarakan beberapa gagasan baru dalam situasi new normal. Yang terbaru adalah dengan teman-teman di Hong Kong. Semua praktisi negara ini tidak ada yang mengeluhkan dampak pandemic covid-19 namun dengan terstruktur memaparkan situasi bisnis musik terkini yang menjadi haluan baru dalam menjalankan proses pemulihan. Mereka memang lebih siap dari kita karena pernah punya pengalaman dengan pandemic SARS beberapa tahun silam.
Hong Kong telah berbeda kisah. Sebelumnya sekitar 30 tahun silam, Hong Kong menjadi pusat lisensi dan keuangan di Asia Pacific. Begitu banyak trader kaliber dunia menggerakkan pasar dari sana. Bahkan kantor-kantor regional dari perusahaan rekaman sempat berada di jantung kota negara ini. MIDEM Asia yang dikenal sebagai Pasar Publishing ternama sempat hadir di sana pada tahun 1996 dan Music Matters Asia juga awalnya dilaksanakan di sana sebelum akhirnya pindah ke Singapura sampai sekarang.
Cuaca politik Hong Kong yang tidak stabil dalam perspektif perdagangan sangat berpengaruh, sehingga banyak pebisnis yang mempertimbangkan untuk memindahkan modal, aset atau operasi bisnis ke lokasi lain setelah Beijing menyetujui rencana penerapan Undang-Undang Keamanan Nasional untuk Hong Kong. RUU Keamanan Nasional ini melarang setiap tindakan pengkhianatan, penghasutan, pemisahan diri, dan subversif terhadap Beijing. RUU ini juga memungkinkan pihak keamanan China beroperasi di Hongkong.
Bisnis musik pun ikut terdampak baik situasi dan semangat para praktisinya. Padahal kebesaran nama para musisi legendaris Hong Kong seperti Leslie Cheung, Jacky Cheung, Priscilla Chan, Hacken Lee, Alan Tam sempat merajai pasar musik China dan Indonesia. Boleh dibilang kalau kita paham sekali dengan Musik Cantonese atau Mandarin maka banyak lagu Indonesia yang mengadaptasi musik asli dari sana yang memang notasinya mahsyur dan indah. Penampilan mereka di panggung juga selalu spektakuler dan megah dengan ragam properti yang tertata dalam jumlah besar.
Setelah dikuasai oleh China, maka banyak musisi “mainland” membanjiri pasar musik Hong Kong yang sebenarnya kecil. Akhirnya terjadi situasi yang sensitif dari kedua belah pihak. Situasi seperti ini sangat tidak nyaman dan kita pernah mengalami puncaknya di tahun 1998. Kesenian tetap harus hidup karena tugasnya sebagai penyeimbang dunia. Tidak terelakkan situasi di sana diperburuk oleh pandemic covid-19 yang belum selesai sampai sekarang. Dampaknya semua konser musik tidak ada lagi dan konsentrasi label hanya rilisan digital. Semua aktivitas artis menjadi terbatas tanpa ada tambahan promo media seperti sebelumnya.
Social Media adalah medium yang dimaksimalkan untuk melakukan promosi baik single maupun album baru. Cara inilah yang dilakukan oleh 5 artis besar Hong Kong saat ini seperti Hins Cheung, Kay Tse, Eason Chan, Pakho Chau dan Mirror. Rilisan mereka meski diangkat lewat media lokal namun tetap saja tertutup oleh berita politik yang diekspos setiap hari. Situasi yang serba sulit dan menjadi pikiran para praktisi bisnis musik untuk mendapatkan solusi. Pasar musik Hong Kong adalah kecil dan terbatas dengan jumlah penulis lagunya, itulah kenapa para super star legendaris dulu juga melakukan cover version lagu J-pop dan meledak.
Sementara Taiwan Mandopop sedang kuat-kuatnya dengan para penulis lagu berbakat yang tidak mau kalah dengan gempuran K-Pop. Mereka saling membentengi pasarnya agar tidak dikuasai oleh pengaruh musik negara lain. Sama seperti situasi Malaysia membentengi negaranya dari dangdut Indonesia dan Pop Melayu Indonesia yang sebenarnya bisa seperti K-pop kalau dipahami cara investasinya oleh Negara. Sayang saja orang-orang yang mencoba mengolah bidang musik tidak tepat. Mereka bukan orang yang hidup selama bertahun-tahun dari musik. Situasi yang pelik.
Sama seperti di Indonesia dimana posisi perusahaan rekaman tidak menjadi keutamaan dalam berbisnis musik. Kini bermunculan banyak label indie di Hong Kong seperti EEG, MediaAsia, AMusic, Neway Star, WSM, The Voice Entertainment, Music Nation yang rata-rata berlomba untuk menciptakan pemasukan dari YouTube dan Digital Platform. Dengan mengetahui situasi pasar musik negara lain, paling tidak kita bisa berperan lebih baik dan mengambil keuntungan dari situasi yang ada untuk fokus kepada produksi musik kita. Musisi adalah Musisi bukan YouTuber. Sayang sekali kalau kalian menghabiskan waktu kalian untuk menjadi content creator padahal kalian sudah terpilih menjadi Story Creator yang lebih luas daripada sekedar konten.
@2020/AldoSianturi / Photo: Istimewa
Musisi adalah Musisi bukan YouTuber. Sayang sekali kalau kalian menghabiskan waktu kalian untuk menjadi content creator padahal kalian sudah terpilih menjadi Story Creator yang lebih luas daripada sekedar konten. —> Ini sepakat sekali, lae. Di pandemi ini banyak yang tergiur jadi Youtuber/content creator ketimbang bersetia buat bercerita tentang musiknya.
Mungkin akan lebih impactful jika di tulisan ini, lo juga memperlihatkan upaya yang dilakukan oleh HK atau Taiwan dalam mengembangkan musik sebagai konten di ranah digital berikut pencapaiannya. Sebagai kontras (sekaligus, mungkin kritik) terhadap yang lo utarakan di alinea terakhir itu.
Lisoi!
Selebihnya biar masing-masing punya effort untuk mencari tau sendiri.
Ini bukan jaman spoon-feeding, ini jaman umpan lambung.
Tidak semuanya selesai di blog ini.
Horas Bung!