Merdi Sihombing dikenal narsis, pandai bergaul, pemberontak dan punya suara emas. Namun garis tangannya berbeda, Merdi malah diapresiasi dunia lewat disain tenunnya yang elok, detail dan mahal. Merdi nggak gampang puas. Merdi selalu turun ke pedesaan, berinovasi sambil memberdayakan pengrajin tenun dan tanpa sadar Merdi telah menjadi kepala lokomotif produk budaya fashion kebanggaan Indonesia.
Siapakah Merdi Sihombing?
MS: Merdi Sihombing adalah seorang pekerja kreatif yang sangat concern terhadap budaya, lingkungan dan program sosial. Merdi bukan hanya dikenal sebagai seorang fashion designer, namun track-record-nya dalam membangun pemberdayaan masyarakat sudah dikerjakan sejak tahun 2001 sampai sekarang.
Dalam memberdayakan masyarakat, program apa yang anda terapkan?
MS: Saya melakukan program padat karya dan mengajarkan para pengrajin agar dapat menghitung harga dasar dan menciptakan manajemen rantai pasok yang dinamis. Program padat karya merupakan suatu program kegiatan pembangunan yang didominasi oleh tenaga manusia dibandingkan dengan tenaga mesin.
Tujuan dari program tersebut yaitu sebagai langkah dalam menciptakan lapangan kerja bagi setiap masyarakat khususnya yang tidak memiliki penghasilan dan pekerjaan tetap. Di mana, program ini juga ditujukan dalam menekan angka pengangguran dan mengurangi kemiskinan. Alasan dari pembangunan ekonomi secara merata adalah untuk mengurangi kesenjangan yang dapat terjadi antara perkotaan dan pedesaan.
Seperti apa dampak pandemic Covid-19 terhadap bisnis anda di tahun 2020?
MS: Bagi saya sendiri, pandemic Covid-19 malah mendatangkan keajaiban. Mungkin ini jawaban dari perjalanan. Saya selalu bekerja memberikan dulu, pasti kamu akan menerima. Ini adalah ketiga kalinya saya menerima rezeki ketika orang kesusahan, di masa krisis 1998, 2008 dan sekarang. Terus terang saya malah kebanjiran rezeki yang luar biasa.
Dapatkah disampaikan bisnis apa yang membuat anda kebanjiran rezeki?
MS: Saya memproduksi masker bersama Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dengan tema laku hidup lestari atau sustainable lifestyle. Gerakan penanganan sampah dan pembuatan masker sebanyak 2,3 juta pcs yang dikerjakan oleh timnya (total ada 27 juta masker) melibatkan 9 Agregator dan UMKM serta dibantu oleh Kementerian Kesehatan dan Kementerian Koperasi.
Melalui program pengadaan masker bukan hanya bagaimana kita memutus mata rantai virus Covid-19, tapi di dalam ini banyak sekali problem yang harus kita bawa, salah satunya adalah Program Sosial Ekonomi. Kita kan sedang resesi dan uang itu harus sampai ke pengrajin-pengrajin. Kalau dari satu masker banyak keterlibatan manusia. Pengrajin batik atau kain tenun, terlibat berapa orang. Waktu dijahit ada tukang jahit, tukang potong, tukang pola, tukang bersihkan benang. Tantangannya luar biasa tapi untuk Merdi Sihombing nggak ada cerita, semua delivered.
Siapa saja yang mengerjakan masker tersebut?
MS: Untuk membuat masker, kami melibatkan 20 orang tuna daksa di DI Yogyakarta yang sebagian besar adalah para atlet Paralympic. Secara total dihasilkan 1.279.905 buah masker yang melibatkan para pengrajin batik dan tenun di DI Yogyakarta dan Jawa Tengah. Saya juga merasa senang dan bersyukur karena bisa turut membantu roda perekonomian UMKM dan kaum difabel kembali bergerak bahkan mendapatkan apresiasi dari Bapak Teten Masduki dalam jumpa pers beberapa waktu lalu.
Saya melihat industri fashion solid di Indonesia? Bagaimana pandangan anda sebagai pelaku?
MS: Terus terang, saya telah melewati masa yang berat sekali karena hopeless melihat status fashion designer di Indonesia. Karena industri fashion tidak akan tercipta di Indonesia, karena memang sengaja dibuat tidak tercipta. Segala sesuatu dibuat serba sulit. Itu bukan hanya dari faktor eksternal. Disainernya juga sama, terlalu banyak kelompok-kelompok dan kebanyakan saling tidak dapat berkolaborasi. Semua berdiri sendiri.
Bagaimana anda membawa diri anda secara luwes di belantara bisnis dunia?
MS: Kalau kita mau berada di tatanan premium, kita harus sadar diri kita ini siapa. Saya selalu mempergunakan Analisis SWOT untuk pengembangan pribadi. Analisis SWOT adalah tindakan menelaah aspek-aspek bisnis berupa Strengths (Kekuatan), Weaknesses (Kelemahan), Opportunities (Peluang) dan Threats (Ancaman). Strength Poin-ku adalah punya banyak teman artis top, itu sudah modal yang sangat kuat. Saya punya latar belakang sebagai disainer busana yang dulu cukup dikenal membuat kebaya dan beragam karya lainnya.
Lalu apa saja “Weaknesses” seorang Merdi Sihombing?
MS: Kelemahan saya adalah saya tidak punya duit. Saya bukan orang kaya dan untuk menjadi disainer di Indonesia memang harus kaya. Karena untuk menjaga eksistensi dan pengakuan pasar, jelas membutuhkan amunisi yang amat besar. Modal yang harus dimiliki bukan hanya modal kerja namun sebagai disainer harus punya kegiatan tahunan yang disebut Annual Show (Show Tunggal) dan kegiatan ini membutuhkan uang dalam bilangan milyar.
Nah meski tidak punya uang tapi saya harus punya mimpi seperti itu. Kalau saya mengikuti cara main seperti mereka, saya sudah mutlak kalah. Saya harus mencari apa yang mereka tidak punya. Sebagai disainer, kita harus cerdas melihat situasi yang terjadi di global dan kita adaptasi atas apa yang kita punya di Indonesia. Sehingga dari situ saya bisa membuat estimasi langkah terbaru yang terukur.
Kapan tepatnya perubahan pemikiran radikal hadir dalam perjalanan anda?
MS: Titik tepatnya adalah pada saat saya memutuskan untuk menjadi disainer busana di kriya tekstil di Institut Kesenian Jakarta (2001). Sewaktu kuliah kami melakukan riset penting di Baduy. Baduy adalah komunitas tradisional Banten yang hidup terisolasi dari dunia luar, mengikuti cara hidup, adat istiadat dan tradisi kuno. Kami sangat tertarik dengan pakaian adat Baduy yang menonjolkan warna hitam dan biru dengan tekstil khusus yang mereka gunakan untuk ritual dan upacara.
Selama tiga tahun, saya bolak-balik Jakarta dan wilayah Baduy untuk bekerja sama dengan masyarakat dan mempelajari lebih lanjut tentang kain mereka. Saya sangat beruntung karena biasanya mereka tidak terlalu terbuka ketika berbicara dengan orang asing, tetapi setelah tiga tahun, ketua adat Baduy mengizinkan saya untuk mempromosikan tekstil mereka dan menggunakannya untuk pertunjukan saya.
Itulah kenapa saya merambah daerah-daerah terpencil di Indonesia, selalu mencari inspirasi baru dan keinginan yang semakin besar untuk melestarikan tradisi dan teknik setempat, serta mendukung masyarakat setempat, khususnya perempuan. Saya membantu mereka mengembangkan produk dan menunjukkan kepada mereka bagaimana cara berproduksi secara berkelanjutan.
Kenapa anda selalu memikirkan orang lain, padahal anda tidak punya banyak uang?
Hidup ini cuma sekali dan kembali ke agama masing-masing, nomor satu adalah mari berikan dulu apa yang kamu miliki, maka setelahnya pasti kau akan diberikan lebih. Ketika kita punya kelebihan, misalnya kita lebih pintar dari orang lain, kita harus menjadi guru buat mereka. Saya punya prinsip, harus menerangkan orang terutama keluarga. Sebagai seorang Kristiani, kami memberikan “perpuluhan”, bagi saya kebiasaan ini bukan hanya perihal materi saja namun mengedukasi orang banyak dan siapapun yang membutuhkannya. Saya tidak mau hitung-hitungan dalam hidup ini.
Anda terlahir sebagai Orang Batak yang cukup dekat dengan Ulos. Bagaimana tanggapan anda atas sentimen negatif yang menilai anda tidak lentur mengupas kain dari budaya lain?
MS: Aku sudah membuktikan bekerja bukan hanya dengan kain Batak saja namun dengan semua kain di Indonesia. Aku memang beruntung punya darah Batak yang tidak pernah kenal kata menyerah. Spirit orang Batak adalah tidak boleh menjadi orang kedua. Ketika kita keluar dari kampung, kita tidak boleh kembali kalau tidak berhasil. Mungkin kalau saya bukan orang Batak, saya tidak akan seperti ini dan juga berkaitan dengan idealisme kreatif, kalau kamu ingin maju sebagai trend-setter maka harus punya jiwa seperti itu.
Apakah negara hadir di perjalanan panjang Merdi Sihombing?
MS: Di awal-awal tidak. Saya sangat maklum atas sistem yang terbentuk sudah menjadi baku dan sulit untuk dirubah. Saya menyadari atas situasinya dan saya tetap berjalan sampai pada satu masa, negara minta pendapat dari saya atas eksistensi di tataran global. Contohnya adalah bagaimana orang kreatif dari negara tetangga bisa wara-wiri di pasar global sementara kita tidak. Saya menjelaskan perbedaan karakter diaspora negara tetangga terhadap dunia fashion.
Bagaimana Diaspora tersebut bisa punya Fashion Week di Los Angeles, Las Vegas dan New York. Negara dan Swasta di sana sudah sadar kalau Fashion adalah bisnis yang menjanjikan. Kalau kita kan nggak, fashion itu masih sebatas tontonan. Makanya jujur aja Fashion Week di sini murni entertainment, bisnisnya malah tidak ada. Makanya setiap saya diminta, saya langsung bertanya “How much you pay me for my performance?” Saya minta uang, kalau tidak sanggup ya tidak apa-apa, saya bisa bikin show saya sendiri dan bisa show di luar negeri juga.
Dengan jawaban tersebut, apakah anda lantas dinilai sebagai pemberontak dan lain-lain?
MS: Saya memang dianggap sebagai pemberontak dan memang saya memberontak. Peran saya dalam dunia fashion ini adalah sebagai tokoh antagonis dan pemberontak. Tapi saya tunjukkan kalau saya punya kapasitas.
Perubahan konstruktif apa yang harus diagendakan oleh Pemerintah bersama stakeholdernya?
MS: Indonesia harus menyadari kalau kekuatan kita untuk bisa bicara industri fashion di tataran global hanya dengan produk-produk budaya. Ini saja dikemas dulu dan konsisten, jadi brandingnya dapat.
Begitu banyak brand fashion dunia hadir di Jakarta, apakah mereka kalian anggap musuh atau apakah ada kerjasama yang bisa dilakukan bersama?
MS: Tidak ada kata ‘enemy’, musuh sekalipun bisa menjadi rekan bisnis sepanjang saling menguntungkan. Mari kembali saat UNESCO pada 2 Oktober 2009 mengakui Batik sebagai Intangible Cultural Heritage dari Indonesia tersebut ada beberapa disainer menikmati momen tersebut dengan menyertakan batik dalam rancangannya yaitu Dries van Noten (Belgia), Ek Throngprassert (Thailand) dan Milo Milavica (Italia). Apa yang dilakukan mereka keren, pecah sejadi-jadinya.
Sayangnya, momentum ini tidak bisa dimanfaatkan oleh Pemerintah. Pemerintah yang mana? Ya orang Kementerian Luar Negeri yang mengurusi diplomasi budaya. Mereka harus berpikir kalau budaya itu harus menjadi nilai ekonomi. Jangan tari-tarian saja yang berulangkali didemonstrasikan di luar negeri. Ketika mengekspos produk budaya maka rakyat di pelosok-pelosok akan hidup.
Bagaimana agar kita bisa lebih cepat mengoptimalisasi produk budaya di dunia fashion?
MS: Terus terang kita kekurangan banyak orang seperti Merdi Sihombing di Indonesia. Makanya kita harus memulai dari disainer masa depan yang masih bersekolah untuk dibuatkan inkubator atau kita menggandeng para lulusan baru. Kemudian inkubator yang kita harus miliki formatnya adalah Fashion Institute of Technology. Teknologi itu sangat penting untuk pengembangan dunia fashion. Kita belum punya dan harus punya di Indonesia. Sekarang adalah waktunya para disainer muda. Yang tua-tua sudah selesai lah. Saya pun sangat siap menjadi apprentice.
Apa saja ambisi yang masih harus anda realisasikan dalam waktu dekat?
MS: Saya mau membuat sekolah tenun di Tanah Batak, aku ingin mengabadikan semua yang aku kerjakan melalui sebuah museum dan aku ingin mencerdaskan orang Indonesia sampai semua pengalaman ini bisa menjadi bisnis. Karena anak muda di Indonesia ini butuh figur agar hatinya bisa tergerak. Bila mereka tau saya adalah sosok orang miskin dari kampung dan berjuang keras ke Ibu Kota Indonesia untuk menjadi seseorang maka mereka tergugah untuk meneladaninya. Bila tidak mereka cuek saja.
Apa rencana anda di Tahun 2021?
Saya adalah seorang lokomotif dan harus kuat untuk menarik gerbong-gerbongnya. Sebagai Nasionalis, tahun lalu saya membuat acara Eco Fashion Week di Sarinah, Jakarta. Inggris juga punya etalase di bangungan tua bernama Harrods dan yang masuk ke sana harus kelas A. Merdi Sihombing harus ada di Sarinah, di heritage Indonesia. Saat ini sedang direnovasi dan saya sangat tertarik untuk mengamplifikasi unit-unit pengrajin yang bekerja erat dengan saya untuk bisa dipertemukan langsung dengan pembeli.
@2020 Aldo Sianturi | Photo: Aldo Sianturi